Selasa, 27 Mei 2014

Memilih Teman Seperjalanan Di Alam Barzakh


Firman Allah SWT :”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar ; merekalah orang-orang yang beruntung“. (QS. Ali Imran 104:105).
Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa menghadap Allah (meninggal dunia), sedangkan ia biasa melalaikan Shalatnya, maka Allah tidak mempedulikan sedikit-pun perbuatan baiknya (yang telah ia kerjakan tsb)”. (Hadist Riwayat Tabrani)
Memilih Teman Seperjalanan di Alam Barzakh
Seperti anda ketahui, di dalam hidup ini, Islam menawarkan dua pilihan, yaitu, jalan menuju Allah Swt, dan jalan menuju setan. Kita disuruh memilih, jalan mana yang kita kehendaki. Al Qur’an sendiri menegur kita “Fa ayna tadzhabun?” (Hendak pergi kemana kalian ini?) QS.81:26. Pertanyaan ini merupakan peringatan buat semua orang. Tetapi Nabi Ibrahim menjawab pertanyaan tsb sbb:
Dan Ibrahim berkata:“Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. (QS. 37:99)
Dalam ayat lain dikatakan : “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya (manusia) dua jalan”. (QS. 90:10)
Yaitu jalan menuju Allah Swt dan jalan menuju selain Allah Swt. Bahkan sering kali kita temukan di dalam Al Qur’an ungkapan yang menganjurkan agar kita berjalan mengikuti orang-orang yang berjalan menuju Tuhan.
…… dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. 31:15)
Dunia utama yang harus dia tinggalkan adalah dirinya sendiri. Para ahli tafsir mengartikan ayat, Barang siapa yang keluar dari rumahnya (QS. 4:100), dalam dua makna; makna batin dan makna lahir. Makna lahir dari ayat ini, berkenaan dengan para sahabat Nabi Saw., yang meninggalkan rumahnya di Makkah menuju Madinah.
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa ayat itu berkenaan dengan orang tua yang sakit, yang ikut hijrah kemudian mati di perjalanan. Pada waktu itu, ketika sahabat lain sudah hijrah dia masih tinggal di Makkah. Kemudian turun ayat yang menegur orang yang tinggal di Makkah dan tidak mau hijrah.
Dan kalau mereka mati, malaikat akan mengecam mereka yang tidak mau berhijrah. Al Qur’an Al Karim mengatakan : “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya:”Dalam keadaan bagaimana kamu ini”. Mereka menjawab:”Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata:”Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dibumi itu”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali, (QS. 4:97)
Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), (QS. 4:98)
Orang sakit dan tua ini mengatakan, “Saya ini tidak termasuk orang yang dikecualikan dalam ayat ini karena saya mempunyai bekal dan saya punya orang yang tahu jalan, hanya saja saya sakit. Oleh karena itu, angkutlah saya, bawa saya berhijrah.” Kemudian oleh keluarganya, ia dibawa ke Madinah. Sampai kemudian di suatu tempat yang bernawa Tawin, orang itu meninggal dunia. Kemudian turun ayat :
……Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya disisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 4:100)
Itulah makna lahir dari ayat ini.
Seperti yang pernah disebutkan dalam hadis Nabi, “Barang siapa yang meniti (salaka) jalan menuntut ilmu, maka dia berada di jalan Allah.”
Ada sebuah nasihat yang dapat kita ambil dari seoarang ulama, dan sufi besar pendiri sebuah tarekat, bernama Syaikh Najmuddin Al Kubra. Ia mempunyai banyak murid yang kelak menjadi para wali. Beliau memberikan beberapa bentuk jalan kehidupan, ketika dia sedniri sedang meniti jalan menuju Allah Swt.
Beliau mengatakan, “Ada dua macam perjalanan manusia. Pertama perjalanan itu ialah perjalanan yang terpaksa, yang disebut safar qahri. Dan yang kedua, ialah perjalanan yang merupakan pilihan kita, atau yang disebut dengan safari ikhtiyari.” Artinya, ada perjalanan kita semua yang menuju Allah Swt tetapi dalam keadaan terpaksa; ada pula perjalanan kita yang menuju Allah dalam keadaan sukarela.
Al Qur’an Al Karim mengatakan : “Sesungguhnya kita semua adalah kepunyaan Allah, dan semua akan kembali kepadaNYA” dan “Kepada Akulah semua akan kembali.” Dan itulah perjalanan yang tidak sukarela.
Masih menurut beliau, perjalanan yang tidak sukarela itu sendiri memiliki beberapa stasiun.
Pertama, ketika kita berada pada sulbi ayah kita.
Kedua, ketika kita berada pada rahim ibu.
Ketiga, ketika kita dilahirkan ke dunia ini dan
Keempat, alam kubur, yang menurut agama, alam itu bisa menjadi taman dari taman-taman surga, atau bisa juga menjadi sumur-sumur neraka, bergantung kepada amal perbuatan kita di dunia ini.
Pada alam barzakh ini kita belum masuk surga atau neraka tetapi kita sudah berada dalam bayang-bayang keduanya.
Sedangkan tahap kelima, ialah saat kebangkitan yang menurut Syaikh Najmuddin Al Kubra, usianya sama dengan (lebih kurang) 5.000 tahun usia dunia ini. Itulah hari kebangkitan, ketika semua manusia dibangkitkan dari tidurnya yang panjang.
Menurut orang-orang sufi, kita semua tidak ingat lagi alam yang sebelum ini alam rahim, misalnya. Kita tidak ingat lagi suasana di alam rahim itu. Semua yang berada di alam rahim mempengaruhi tingkah laku kita sekarang ini; tetapi kita seakan-akan tidak mengalami dunia itu. Kita seakan-akan lahir ke dunia ini, kemudian kita menemukan alam kesadaran baru.
Begitu pula, ketika kita berada di alam barzakh, kita mulai sadar bahwa di alam inilah sebetulnya kehidupan yang sebenarnya itu. Kehidupan dunia ini bagaikan sebuah mimpi saja. Suasana seperti baru kita sadari di alam barzakh itu.
Allah Swt berfirman : Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu sangat tajam. (QS. 50:22)
Kita merasakan alam barzakh itu sebagai permulaan kehidupan. Apa yang kita lakukan sekarang ini mempengaruhi suasana senang dan susah di alam barzakh nanti.
Ketika kita nanti dibangkitkan, kita merasa bahwa alam barzakh itu seperti mimpi yang panjang. Semua orang merasakan bahwa memang itulah kehidupan yang sebenarnya. Al Qur’an Al Karim melukiskan peristiwa itu dalam surah Yasin sbb :
Mereka berkata: “Aduh celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul Rasul(Nya). (QS. 36:52)
Itulah alam kebangkitan yang panjangnya kira-kira sama dengan hitungan 5.000 tahun dunia ini. Hanya Allah Yang Maha Tahu, karena perhitungan panjang-pendeknya waktu itu sangat relatif, apalagi ketika menghadapi alam lain. Kita sangat susah menghitung berapa lama waktu itu.
Sayyidina Ali k.w. pernah meriwatkan bahwa begitu seseorang meninggal dunia, jenazahnya terbujur, diadakan “upacara perpisahan” di alam ruh. Pertama-tama ruh dihadapkan kepada seluruh kekayaannya yang dia miliki. Kemudian terjadi dialog antara keduanya. Mayit itu mengatakan kepada seluruh kekayaannya, “Dahulu aku bekerja keras untuk mengumpulkan kamu itu sehingga akau lupa untuk mengabdi kepada Allah Swt., sampai aku tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Sekarang, apa yang akan kamu berikan sebagai bekal dalam perjalananku ini.” Lalu harta kekayaan itu berkata, “Ambillah dariku itu kain kafanmu.” Jadi tinggal kain kafanlah yang dibawa untuk bekal perjalanan selanjutnya.
Sesudah itu si mayit dihadapkan kepada seluruh keluarganya – anak-anaknya, suami atau istrinya – kemudiansi mayit berkata, ” Dahulu akau mencintai kamu, menjaga dan merawat kamu. Begitu susah payah aku mengurus dirimu, sampai aku lupa mengurus diriku sendiri. Sekarang apa yang mau kalian bekalkan kepadaku pada perjalananku selanjutnya ?” Kemudian keluarganya mengatakan, “Aku antarkan kamu sampai ke kuburan.”
Setelah perpisahan itu, si mayit akan dijemput oleh makhluk jelmaan amalnya. Kalau orang yang meninggal ini adalah orang yang sering berbuat baik, beramal saleh, maka dia akan dijemput oleh makluk yang berwajah ceria, yang memandangnya menimbulkan kenikmatan, dan memancarkan aroma semerbak. Makhluk jelmaan itu kemudian mengajak si mayit pergi. Kemudian mayit itu berkata : “Siapakah Anda ini sebenarnya ? Saya tidak kenal dengan Anda.” Makhluk itu kemudian menjawab: “Akulah amal saleh kamu dan aku akan mengantarkan kamu sampai hari perhitungan (hisab) nanti.”
Bahwa amal-amal kita nanti akan berwujud, misalnya, sedekah yang sekarang ini tidak kita lihat wujudnya. Kita hanya mengenalnya sekarang ini sebagai sesuatu yang abstrak. Pekerjaan orang tersebut bisa kita lihat tapi wujudnya tidak dapat kita lihat. Yang menarik adalah bahwa amal saleh yang kita kerjakan akan selalu setia menemani kita sampai alam barzakh.
Tetapi amal jelek juga akan berwujud. Dia akan berwujud wajah yang menakutkan, dengan bau yang menyengat seperti bangkai, dan ia akan terus menemani kita sampai hari hisab nanti. Kemudian ketika amal buruk itu ditanya, “Siapakah Anda ini sebenarnya ?” Maka dia menjawab, “Saya adalah amal kamu yang jelek. Dan aku akan menemani kamu sejak alam barzakh sampai kebangkitan nanti.
Bayangkan perjalanan panjang yang ditemani makhluk yang mengerikan dan baunya bahkan melebihi bau bangkai. Padahal kalau kita lihat hadis-hadis Nabi, sedihnya seorang mayit ketika hendak meninggalkan keluarganya melebihi kesedihan seseorang yang harus meninggalkan keluarganya secara tiba-tiba, misalnya pergi ke luar negeri, atau mau pergi menunaikan ibadah haji ke Makkah.
Sang mayit pun akan berpisah dengan seluruh keluarganya bahkan dengan seluruh dunia ini yang pernah dihuninya setelah sekian lama. Setelah berpisah, dia akan hidup sendiri, dilanda kesepian yang luar biasa. Karena itu beruntunglah kalau dalam kesepian itu ia ditemani oleh teman-teman yang baik.
Itulah perjalanan yang mau tidak mau mesti kita jalani. Sesudah perjalanan itu kita memasuki tempat tinggal yang abadi. Tempat itu bisa merupakan kesenangan yang abadi, yaitu surga; tetapi tempat abadi itu juga bisa berwujud neraka yang mengerikan.
Selain perjalanan yang terpaksa (safar qahri), ada pula safar ikhtiyari, yaitu perjalanan yang merupakan pilihan kita. Kita bisa memilih berjalan atau tidak memilih berjalan. Perjalanan Ikhtiyari ini sendiri terbagi menjadi dua. Pertama, perjalanan ruhani, atau perjalanan jiwa kita menuju Allah Swt. Dan itulah yang disebut As-Suluk ila Malikil Muluk (perjalanan menuju Raja segala raja). Dalam perjalanan ini kita akan melewati beberapa tahapan sama seperti kita akan melewati beberapa tahapan pada perjalanan qahri tadi.
Kedua, ialah perjalan fisik. Yaitu pindahnya Anda dari suatu kota ke kota lain. Islam sangat menganggap perjalana fisik ini. Dan bahkan mungkin hanya dalam Islam terdapat banyak anjuran mengenai pentingnya melakukan perjalanan. Seperti yang terdapat dalam QS. 6: 11; 16: 36; 27: 69; 29: 20; 30:42; semuanya mengatakan, “…..Adakanlah perjalanan dimuka bumi…”
Oleh karena itu, salah satu keutamaan haji adalah karena di dalam ibadah haji itu ada unsur safar yang dilambangkan dengan meninggalkan dunia menuju Rumah Allah, yaitu Baytullah.Tetapi haji itu juga mengandung safar ruhani. Jadi, ibadah haji memiliki dua safar sekaligus.
Dalam shalat, kita hanya mempunyai satu safar, yaitu safar ruhani, tidak safar jasmani. Ketika Anda berjalan untuk menuntut ilmu, Anda dianggap melakukan dua safar.
***
Dikutip tanpa izin dari Buku: Terbitan Mizan. Renungan Renungan Sufistik, Prof. Dr. KH. Jalaluddin Rakhmat.

Selasa, 20 Mei 2014

Allah Menyukai Pernikahan Dini, Mengapa Orang Tua Masih Ragu Untuk Menikahkan Putra-Putri Mereka ?



Ayahku Melarangku Untuk Menikah
Karakter utama yang mewarnai hampir setiap masyarakat adalah suka meniru dan gemar menyamakan kasus. Padahal hal demikian itu suatu kekeliruan. Agama Islam sudah memiliki aturan baku yang berdiri tegak di atas pondasi yang kokoh dan tidak mudah terombang-ambing. Jadi untuk apa meniru orang lain? Agama Islam justru menggalakkan pernikahan pada usia muda, karena hal itu jelas mendatangkan banyak berkah dan kebaikan, serta mencegah banyak perkara. Allah Subhanahu Wata’ala lebih memahami ciptaan-Nya, maka berpegang teguhlah dengan wasiat Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Menikahlah kalian dengan para wanita, karena mereka akan mendatangkan untuk kalian harta. (HR. Al Hakim 2679, dan beliau mengatakan hadis ini shahih)
Seandainya pernikahan di usia muda itu mengandung kejelekan, niscaya syariat Islam yang suci tidak akan menggalakkannya. Apalagi dalam kaidah hukum Islam disebutkan, bahwa setiap perkara yang Allah Subhanahu Wata’ala perintahkan berarti hal tersebut disukai dan diredhainya. Sedangkan setiap perkara yang mendatangkan kerugian dan bahaya  pasti diharamkan.
jadi kalau memang Allah menyukai pernikahan dini, yang merupakan pasangan usia subur dan produktif, mengapa orang tua masih ragu untuk menikahkan putra-putri mereka? Apalagi banyak pandangan menyedihkan di masyarakat akibat tertundanya pernikahan. Padahal hanya pernikahanlah yang mampu memelihara kehormatan dan menjaga eksistensi masyarakat itu sendiri. Maka jangan hanya karena alasan kuliah atau kerja, lantas orang tua menunda putra-putrinya menikah. Bukankah yang demikian merupakan perbuatan yang bisa mengundang fitnah dan murka Allah Subhanahu Waa’ala? 

Ustadz Zaenal Abidin bin Syamsudin ” Muda, Nikah, Bahagia!” hal 70-71