“Dan janganlah kamu menganggap dirimu
suci, Dia-lah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (An-Najm
[53]: 32).
Suatu hari seorang Sahabat mencap temannya yang selalu berpakaian bagus dan berpenampilan mewah sebagai orang yang sombong. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyangkal pernyataan tersebut. Sebaliknya, beliau mendefinisikan orang sombong adalah yang “menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain”.
Orang yang merasa dirinya suci termasuk bagian dari kesombongan, karena telah menempatkan dirinya pada posisi tertentu yang secara spiritual lebih tinggi dibanding yang lain. Jika perasaan suci itu dinampakkan secara pasif disebut ujub, tapi jika sudah dimanifestasikan secara aktif menjadi kibr atau takabur (kesombongan). Baik kesombongan yang disembunyikan (pasif) maupun kesombongan yang dinampakkan (aktif) sama bahayanya, baik untuk diri mereka sendiri maupun bagi orang lain.
Makhluk pertama yang menunjukkan secara terang-terangan kesombongannya adalah iblis, hanya karena ia merasa “bahan bakunya” lebih baik dibanding dengan bahan baku Adam. Ia menolak dipersamakan dengan Adam, apalagi harus sujud kepadanya. Perbedaan bahan baku itulah yang menginspirasi iblis menyombongkan diri di hadapan penciptanya sendiri, Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Aku lebih baik daripadanya, Engkau ciptakan aku dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (Al-A’raf [7]: 12).
Inspirasi kesombongan itu bisa tercetus dari berbagai hal yang dianggap istimewa atau lebih dari yang lain. Seseorang bisa menyombongkan kekuasaan yang dimilikinya, sebagaimana Fir’aun yang berkata, “Bukankah kerajaan Mesir itu milikku….?” (Az-Zukhruf [43]: 51).
Bisa juga orang menyombongkan kekayaannya, sebagaimana Qarun yang mengklaim, “Sesungguhnya aku diberi harta itu hanya karena ilmu yang ada padaku.” (Al-Qashash [28]: 78).
Orang berilmu bisa jadi menyombongkan kepandaiannya, padahal ilmu yang diberikan kepada manusia itu amat sangat sedikit.
Wahai orang-orang yang sombong, seandainya bukan karena hijab dari Allah Ta’ala sesungguhnya tidak sedikitpun tampak kebaikan pada diri kalian. Seandainya Allah membuka hijab kita, akan terbukalah berbagai skandal besar dan kecil yang sangat memalukan. Ilmu yang kita sombongkan melalui gelar, sertifikat, strata kesarjanaan, dan lain sebagainya bisa jadi hasil dari sebuah kecurangan. Pernahkan kita menyontek? Menyadur karya orang lain secara sembunyi-sembunyi? Mendebat tanpa ilmu? Berlagak tahu padahal tidak tahu?
Kalau bukan karena Allah menutupi kelemahan kita, sungguh tak seorang pun hormat kepada kita. Boleh jadi kita saat ini menjadi pemimpin yang dihormati, tapi di balik itu sungguh banyak perilaku tak terpuji yang tak patut ditiru atau diteladani. Kalau orang lain mengetahui, sungguh kita malu sendiri.
Ketahuilah, orang-orang yang telah berceloteh tentang kemuliaan garis keturunannya adalah orang yang gagal. Orang yang berbicara tentang kejayaan masa lalunya adalah orang-orang yang bodoh. Sedangkan orang-orang yang membanggakan kesalehannya dan mempersaksikan kepada orang lain adalah orang yang tertipu. Orang yang mengatakan dirinya suci adalah orang yang patut disangsikan kebenarannya.
Biarlah Allah yang menilai apakah kita termasuk golongan yang suci, sebab Dia-lah yang Maha Tahu dan mempersaksikan setiap perilaku, sikap, dan apa pun yang tersembunyi dari pikiran dan perasaan kita yang paling dalam.
Wallahu ya’lamu ma fish-shudur.
Suatu hari seorang Sahabat mencap temannya yang selalu berpakaian bagus dan berpenampilan mewah sebagai orang yang sombong. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyangkal pernyataan tersebut. Sebaliknya, beliau mendefinisikan orang sombong adalah yang “menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain”.
Orang yang merasa dirinya suci termasuk bagian dari kesombongan, karena telah menempatkan dirinya pada posisi tertentu yang secara spiritual lebih tinggi dibanding yang lain. Jika perasaan suci itu dinampakkan secara pasif disebut ujub, tapi jika sudah dimanifestasikan secara aktif menjadi kibr atau takabur (kesombongan). Baik kesombongan yang disembunyikan (pasif) maupun kesombongan yang dinampakkan (aktif) sama bahayanya, baik untuk diri mereka sendiri maupun bagi orang lain.
Makhluk pertama yang menunjukkan secara terang-terangan kesombongannya adalah iblis, hanya karena ia merasa “bahan bakunya” lebih baik dibanding dengan bahan baku Adam. Ia menolak dipersamakan dengan Adam, apalagi harus sujud kepadanya. Perbedaan bahan baku itulah yang menginspirasi iblis menyombongkan diri di hadapan penciptanya sendiri, Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Aku lebih baik daripadanya, Engkau ciptakan aku dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (Al-A’raf [7]: 12).
Inspirasi kesombongan itu bisa tercetus dari berbagai hal yang dianggap istimewa atau lebih dari yang lain. Seseorang bisa menyombongkan kekuasaan yang dimilikinya, sebagaimana Fir’aun yang berkata, “Bukankah kerajaan Mesir itu milikku….?” (Az-Zukhruf [43]: 51).
Bisa juga orang menyombongkan kekayaannya, sebagaimana Qarun yang mengklaim, “Sesungguhnya aku diberi harta itu hanya karena ilmu yang ada padaku.” (Al-Qashash [28]: 78).
Orang berilmu bisa jadi menyombongkan kepandaiannya, padahal ilmu yang diberikan kepada manusia itu amat sangat sedikit.
Wahai orang-orang yang sombong, seandainya bukan karena hijab dari Allah Ta’ala sesungguhnya tidak sedikitpun tampak kebaikan pada diri kalian. Seandainya Allah membuka hijab kita, akan terbukalah berbagai skandal besar dan kecil yang sangat memalukan. Ilmu yang kita sombongkan melalui gelar, sertifikat, strata kesarjanaan, dan lain sebagainya bisa jadi hasil dari sebuah kecurangan. Pernahkan kita menyontek? Menyadur karya orang lain secara sembunyi-sembunyi? Mendebat tanpa ilmu? Berlagak tahu padahal tidak tahu?
Kalau bukan karena Allah menutupi kelemahan kita, sungguh tak seorang pun hormat kepada kita. Boleh jadi kita saat ini menjadi pemimpin yang dihormati, tapi di balik itu sungguh banyak perilaku tak terpuji yang tak patut ditiru atau diteladani. Kalau orang lain mengetahui, sungguh kita malu sendiri.
Ketahuilah, orang-orang yang telah berceloteh tentang kemuliaan garis keturunannya adalah orang yang gagal. Orang yang berbicara tentang kejayaan masa lalunya adalah orang-orang yang bodoh. Sedangkan orang-orang yang membanggakan kesalehannya dan mempersaksikan kepada orang lain adalah orang yang tertipu. Orang yang mengatakan dirinya suci adalah orang yang patut disangsikan kebenarannya.
Biarlah Allah yang menilai apakah kita termasuk golongan yang suci, sebab Dia-lah yang Maha Tahu dan mempersaksikan setiap perilaku, sikap, dan apa pun yang tersembunyi dari pikiran dan perasaan kita yang paling dalam.
Wallahu ya’lamu ma fish-shudur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar